Minggu, 07 April 2013

Komisi III: Pasal Penghinaan Presiden Diubah Saja Jadi Delik Aduan


Jakarta - Keberadaan pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP yang diusulkan Pemerintah kembali menuai polemik publik. Pasal itu sebaiknya tidak perlu dihidupkan kembali. Namun aturan untuk tetap menjaga martabat Presiden juga perlu ada. Karena itu, delik penghinaan presiden sebaiknya diubah menjadi delik aduan.

"Itu bisa diubah menjadi delik aduan. Jadi kalau presiden keberatan dengan kritikan atau dinilai mencemarkan nama baik, baru diproses. Kalau tidak ada aduan dari Presiden atau wakil Presiden, ya tidak perlu diproses. Yang menghina tidak boleh ditangkap," ujar Wakil Ketua Komisi III Almuzammil Yusuf saat dihubungi, Minggu (7/4/2013).

Menurut Muzammil, mempertahankan pasal penghinaan Presiden dalam undang-undang sangat berlebihan karena dapat menciptakan ketakutan di dalam demokrasi. Namun meniadakan aturan yang mengatur etika mengkritik lembaga kepresidenan dan wakil presiden juga tidak adil.

Dia mengusulkan, pasal yang bisa dipakai sama dengan pasal pencemaran nama baik kepada orang umum, di mana delik aduan digunakan dalam pasal ini. Dengan delik ini, 'penghina' presiden dapat diproses hukum dengan catatan jika Presiden ataupun Wakil Presiden berkeberatan dengan subjek 'penghinaan' itu dan melaporkannya ke polisi.

Namun pengaturan pasal dalam undang-undang soal pencemaran nama baik terhadap Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya dipisahkan dengan pasal pencemaran nama baik untuk umum.

"Karena Presiden kan juga lambang negara dan sebuah bangsa. Bukan hanya masyarakat, Presiden sebagai manusia juga memiliki hak untuk dijaga nama baiknya. Agama juga melarang menuduh atau memfitnah seseorang. Karena itu turunnya agama salah satunya bertujuan untuk menjaga nama baik manusia dari pencemaran. Karena itu sebaiknya menggunakan delik aduan," tutur Muzammil.

Namun politisi PKS ini juga mengatakan jika tuduhan seseorang terhadap presidennya itu terkait korupsi karena posisi Presiden sebagai pejabat, sebelum menggunakan delik aduan, maka tuduhan korupsi tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Jika tuduhan terbukti, maka tuduhan itu benar dan Presiden harus diproses sebagaimana pejabat lainnya. Tapi jika tuduhan tidak terbukti, maka Presiden bisa menggunakan delik aduan dan yang menuduh harus mempertanggungjawabkan secara hukum.

"Tapi jika pejabat negara atau Presiden yang berjiwa besar itu, kritik-kritik kecil tidak perlu dituntut. Kecuali kalau sudah menyangkut kehormatan diri, seperti dituduh korupsi, pembunuhan, atau perzinahan, baru dibuktikan dulu sebelum delik aduan," jelasnya.


http://news.detik.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar